Koreksi.
Tentang kejujuran.
Entah negara ini atau manusia di dalalmnya, degradasi moral.
Paku koreksi besar - besar seharusnya sudah harus ditancapkan pada tembok hati yang mulai runtuh.
Generasi tua yang berturut - turut moralnya turun seharusnya mampu menjadi tamparan sejarah bagi kita yang muda.
Sedikitnya yang bangkit sadar pun tak mampu menggebyarkan idealisme ini pada kawan sesamanya, yang notabene meremehkan kejujuran.
Kejujuran telah menjadi impotensi zaman kini.
Orang - orang pun lemah pada kejujuran
Mereka sebegitu lemahnya menatap kenyataan hingga menyerah pada kemunafikan, melembeknya moral.
Tidak ada lagi namanya kerja keras menggapai mimpi, tidak ada lagi yang belajar dari tokoh bapak - bapak kita dahulu.
Mereka yang disebut The Founding Fathers adalah yang mampu bekerja, mampu diandalkan, dengan upaya mereka sendiri.
Bukan yang menjegal lawan dalam usaha, menopang kawan dalam kelicikan, moral!
Bagaimana dengan koruptor?
Mereka adalah yang tetap ada dari awal pasca kemerdekaan menjamur pada pemerintah, yang mana adalah penetap dari inti sari hidup di Indonesia tercinta, ya.. Tercinta.
Merekalah yang abadi dan tidak berhenti mengabdi pada uang, bukan moral, secara unconciously merambah hati kita, pemuda untuk meremehkan kejujuran.
Sederhana, seperti saat seorang ayah menggemari permainan bola sepak, si anak pun secara tak sadar mulai menunjukkan minatnya pada permainan itu pula.
Yang mata pribadi saya lihat adalah orang - orang yang sadar dan jujur akan selalu kalah.
Lahirlah sebuah kepercayaan dan keyakinan bahwa Si Lurus akan selalu jatuh, dan mereka yang Serong secara quantitas adalah mayoritas akan subur tumbuhnya, tiada beda dengan fungi.
Yang kuat idealismenya akan bertahan pada jalannya, dan yang lemah pun akan subur bersama fungi lainnya.
Sebuah disayangkan mengutip sastrawan pasca kemerdekaan "Soe Hok-gie" berkata "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan".
Maka benarlah bahwa pemenang pada perbandingan antara Si Lurus dan fungi jatuh pada jamur - jamur memabukkan ini.
Kita adalah anak tengah zaman, generasi yang lahir pada kedamaian, tidak ada perang besar yang diperjuangkan dan dibanggakan, tidak ada depresi besar yang melanda negeri ini.
Perang besar kita adalah perang spiritual, depresi besar kita adalah hidup kita.
Kita boleh berharap zaman berubah, hingga mampu lahirkan Soekarno, Hatta, dan Habibie yang baru.
Maka perjuangkan masa depan kesucian generasi bawah kita, berubahlah demi mereka.
Menangkan perang dalam diri masing - masing, majulah untuk menghilangkan depresi hidup ini.
Bangkitlah kesadaran, semakin senja pun keriput kulit mengiringi kesadaran kita akan semua yang telah kita lakukan, jangan menyerah, dan jangan menyesal.
Kopi yang kami cintai turun dari teko, perlahan pun mendingin, teguklah sebelum dibungkam oleh Malak al Mawt.
Dan semua takkan terlalu terlambat.
No comments:
Post a Comment